SELAMAT DATANG DI BLOG YPA AISYIYAH CAB. KOMPLEK SLIPI

Mengabdi pada Allah melalui Pendidikan 1)

Oleh Djauharah Bawazir2)

Islam adalah agama yang paripurna dan universal. Semua lini kehidupan manusia telah di atur di dalamnya. Berbagai hal, mulai dari perihal ekonomi, teknologi sampai dengan pendidikan, ada dan tercakup saling terikat dan mempengaruhi. Tidak saling melepaskan dan berdiri sendiri tapi saling mengembangkan.
Allah SWT dan Rasulullah saw menekankan bahwa semua sendi kehidupan manusia haruslah tetap terikat dengan pondasi awalnya, yaitu agama yang rahmatan lil ’alamin ini. Begitu juga dengan salah satu dunia yang begitu dekat dengan kita, yaitu dunia pendidikan dengan segala dinamika yang ada di dalamnya. Pendidikan, sebuah dunia penuh warna dan dinamika serta pemasalahan yang terdapat di dalamnya telah menjadi bagian penting dari setiap insan di dunia tak terkecuali orangtua yang notabene juga berperan sebagai pendidik.  Seorang pendidik memiliki tugas mulia dan pahala berlimpah. Dalam sebuah Hadist disampaikan bahwa mengajarkan ilmu adalah sodaqoh yang berpahal,
Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya, dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat. (HR. Ar-Rabii')
Seperti yang kita ketahui, mendidik memiliki fungsi yang begitu penting bagi terciptanya generasi yang cakap, cerdas dan berakhlakul karimah. Maka Allah SWT dan Rasulullah saw., sangat mewajibkan kita sebagai orang tua untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa.
Akan tetapi, ada hal yang harus diluruskan terlebih dahulu mengenai memberikan pendidikan yang terbaik. Memberikan pendidikan yang terbaik tidak hanya berkisar pada menyekolahkan anak-anak ke sekolah yang bertaraf internasional ataupun yang memiliki SPP paling mahal. Rasulullah saw telah memberikan teladan dalam rangka mendidik anak, antara lain yang Beliau ajarkan adalah dengan selalu memberikan kasih sayang namun tidak pula memanjakan.
Contohnya: jangan pernah ragu untuk mencium atau memeluk anak-anak kita dengan penuh kasih sayang dan bukan sekedarnya. Wujud perhatian ketika Rasulullah bercerita dan memberikan kalimat-kalimat positif seperti pujian dan penghargaan yang sewajarnya terhadap hasil kerja atau prestasi anak. Tidak berlaku kasar dan terlampau keras seperti memukul, menendang, menjewer, dan lan-lain, ataupun memarahi dengan kata-kata yang menyakiti hati anak. Disisi lain tidak juga memenuhi semua permintaan anak yang tidak begitu penting dengan cara melakukan komunikasi dan negosiasi agar anak dapat memikirkan kembali permintaanya.
Mengapa pada akhirnya proses mendidik dikaitkan dengan konteks meraih kebaikan dari Allah SWT? Hal ini dikarenakan, mendidik merupakan sebuah amal kebaikan yang menjadi salah satu wujud pengabdian kita pada Allah SWT jika kita ingin meraih surgaNya. Selain itu, mulai detik ini marilah ubah paradigma tentang proses mendidik yang hanya sebagai proses transfer ilmu atau pengalaman dari pendidik kepada anak didik. Dalam mendidik terdapat hal besar yang menjadi tanggung jawab orangtua sehingga mereka pun dijanjikan kebaikan yang besar pula jika mampu memberikan yang terbaik bagi generasi penerus bangsa ini.
Memang tidak mudah semua itu kita lakukan, perlu kesabaran untuk menghadapi buah hati kita, perlu banyak pengorbanan demi memiliki waktu yang berkualitas untuk anak-anak kita. Tapi, cukuplah firman Allah SWT berikut menjadi penguat hati dan peneguh kesabaran kita dalam mendidik buah hati atau mungkin murid-murid kita.
Wahai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (yang) bahan bakarnya adalah manusia dan batu; djaga oleh malaikat-malaikat yang keras dan kasar, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan.”  (QS At Tahrim: 6)
Maka, ubahlah paradigma kita mulai detik ini. Mari menambah ketakwaan dan keimanan kita melalui salah satu wujud pengabdian tulus ikhlas pada Allah SWT ini. Karena mendidik bukan sekedar mendidik, tapi ini adalah salah satu ibadah kita yang menjanjikan banyak kebaikan.
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku”
 (Q.S. Adz Dzaariyaat [51]: 56)

Wallahu’alam bishawab 
1)Disampaikan pada MAJLIS TAKLIM AZ ZAHRA, JAKARTA, 5 Juni 2009
2)Penulis buku dan pencetus Model Sistem Pendidikan Bunyan. 

Berislam Secara Totalitas

Oleh: Shalih Hasyim
ALKISAH, ada seorang Badui datang kepada Rasulullah SAW lantas beriman kepadanya dan mengikuti (ajaran Islam). Sang Badui bertanya (kepada Nabi), Apakah saya hijrah bersamamu? Maka Rasulullah SAW menitipkan orang Badui tersebut kepada sahabatnya untuk hijrah. Ketika terjadi perang Khaibar, Rasulullah memperoleh harta rampasan dan membagi-bagikannya. Nabi SAW memberi bagian buat orang Badui itu dan menitipkan bagiannya itu kepada sahabat. Saat pembagian, orang Baduai tidak ada, sedang menggembalakan unta mereka (para sahabat). Ketika datang, para sahabat menyerahkan bagian itu kepadanya, Ia lantas bertanya, “Apakah ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagian yang telah ditetapkan oleh  Rasulullah untukmu.” Orang Badui mengambil bagian tersebut dan membawanya kepada Nabi SAW. ”Tidak karena ini saya mengikutimu, akan tetapi saya mengikutimu agar leherku ini ditembus oleh anak panah, hingga saya mati lalu masuk surgea.” Rasulullah SAW berkata, “Bila kamu (jujur) pada Allah, maka Allah akan menepati (janji-Nya) kepadamu.”

Setelah itu para sahabat bangkit untuk memerangi musuh. Kemudian orang Badui dibawa ke (hadapan) Nabi SAW dalam keadaan syahid. Lantas Rasulullah SAW bersabda, “Diakah orang itu ?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Benar.” Rasulullah SAW bersabda, “Ia jujur kepada Allah, maka Allah membuktikan (janji-Nya).” (Sunnah An-Nasai 4/60. Kitabul Janaiz, bab Ash-Shalatu ‘Alasy-Syuhada).

***
Seorang ideolog membagi manusia menjadi enam kelompok;  muslim-mujahid, muslim yang duduk-duduk (tidak mau berjuang), muslim-atsim (pendosa), dzimmi-mu’ahid (kafir yang telah dilindungi oleh Negara Islam karena telah mengadakan perjanjian damai dengannya dan siap membayar pajak sebagai gantinya), muhayid (orang kafir yang berpihak kepada Islam) atau muharib (orang kafir yang memerangi Islam).
Masing-masing kelompok diatas memiliki hukumnya tersendiri dalam pandangan Islam. Dengan batasan inilah individu maupun intitusi ditimbang, apakah ia berhak mendapatkan loyalitas atau berhak memperoleh permusuhan/pengingkaran.
Terhadap golongan muslim-mujahid, kita mencintai, memberikan loyalitas, mengunjungi, menjalin hubungan baik (al Mawaddata fil Qurba) dan memenuhi kebutuhan mereka. Terhadap muslim yang tidak berjuang, kita membangkitkan semangat, menasihati dan mencari ‘udzur buat mereka. Terhadap muslim yang suka berbuat dosa, kita memperingatkan mereka dan mengajak perjanjian terhadap mereka, tidak menampakkan permusuhan kepada mereka, bahkan kita dituntut unt uk bersikap toleran (tasamuh) dan adil terhadap mereka. Mereka memiliki hak dan kewajiban sebagai warga Negara sebagaimana kita.
Islam mengenal istilah tajarrud (kemurnian dan totalitas), di mana membersihkan hati dan pikiran dari dominasi internal (syubhat, syahwat dan ghoflah/kelalaian) dan prinsip-prinsip dan pengaruh orang lain.
Secara lafdziyah, tajarrudu lil amri’ berartinya bersungguh-sungguh pada suatu urusan.
Tajarrud merupakan akhlak yang harus dimiliki oleh barisan mukmin yang berjuang dalam menegakkan kalimat Allah, bahkan ia merupakan salah satu pilarnya. Tanpa tajarrud yang benar barisan kaum beriman tidak akan bangkit dan tidak akan menunaikan perannya.
Tegakknya Islam termasuk diserukan oleh tokoh-tokoh semisal mereka, yaitu orang-orang yang telah menghiasi diri dengan kejujuran, ‘iffah (menjaga diri), kejernihan batin, ketulusan dalam beramal, keteguhan dalam memegang prinsip, serta terbebas dari motif-motif dunia dan syahwat.
Abul Ala Al Maududi dalam kitabnya “Nadzariyyatul Islam wa Hadyuhu” (hal. 84) pernah mengatakan, dakwah inilah yang akan menyedot hati orang-orang yang di dalam diri mereka masih terdapat kebaikan dan keshalihan.
All out
Di antara indikator tajarrud yang benar adalah bahwa seseorang menakar orang lain, organisasi lain dan segala sesuatu dengan takaran (timbangan) dakwah. Ia menentukan sikapnya terhadap mereka semua sesuai dengan timbangan tersebut.
Di antara tanda-tanda adanya akhlak tajarrud adalah mempersembahkan jiwa dengan mudah (tanpa ada rasa keberatan) di jalan Allah SWT.
Orang yang bercita-cita menegakkan al haq di muka bumi ini harus berhasil mewujudkannya terlebih dahulu di dalam jiwa, nurani, dan kehidupan mereka, dalam bentuk aqidah (keyakinan), akhlak (perilaku), ibadah, dan perilaku sehari-hari.
Abu Bakar ra telah menginfakkan hartanya untuk menyelamatkan orang-orang yang tertindas di Makkah, ia melindungi orang-orang asing yang telah menyatakan janji setia (baiat) kepada kepemimpinan Rasulullah SAW teguh dalam janji, totalitas (all out) dalam beramal dan memurnikan niat hanya kepada Allah SWT. Kemudian turunlah beberapa ayat al-Quran yang member khabar gembira kepada Abu Bakar ra atas amal mulia yang telah dilakukan dan dipersembahkan untuk Allah SWT semata.
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dia kelak benar-benar mendapat kepuasan.” (QS. Al Lail (92) : 17-21).
Sungguh sikap Abu Bakar  ra tidak dapat ditakar ketika ia ditanya, Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu ? Ia menjawab, Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya (Nurul Yaqin- Perang Tabuk hal. 245).
Sikap yang diteladankan oleh Abu Bakar dalam masa paceklik, jaisyul ‘usrah (Perang Tabuk) tersebut menggambarkan kepribadian beliau, dalam tiga indikator.
Pertama, mempersembahkan harta secara total (all out) hanya kepada Allah SWT.
Kedua, tawakkal secara mutlak kepada Allah SWT.Hal ini tercermin dalam ucapannya, Saya tinggalkan untuk mereka Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ketiga, penjelasan bahwa pada hakikatnya harta itu milik Allah, dan Abu Bakar hanyalah diserahi/dititipi untuk mengelola dengan sebaik mungkin. Jika sedikit saja dikeluarkan untuk kebatilan berarti mubadzir. Jika dibelanjakan untuk menegakkan kebenaran sampai minus (habis), bukan dikategorikan mubadzir. Ia pantang mengelola harta bertentangan dengan Sang Pemilik-Nya.
Orang yang meyakini keagungan dan kebesaran Islam yang diajarkan oleh al-Quran dan as-Sunnah, serta jiwanya memberi kesaksian bahwa (jalan) inilah yang haq, yang tiada setelahnya kecuali kebatilan dan kesesatan ia akan mempertaruhkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah SWT dan Islam.
Ini bisa dilihat dari sikap Nabiullah Ibrahim alaihissalam, sekalipun di tengah-tengah mereka terdapat ayah, anak-anak dan keluarganya. Beliau bersama pengikutnya berlepas diri dari lingkungan sosialnya serta patung-patung yang mereka sembah. Ia mengingkari kebatilan, dan menjauhi kaum paganis untuk menegakkan Islam. 
Sekarang marilah bertanya pada diri kita. Kita bersilam masih secara sampingan atau sudah totalitas?.
Perumpamaan totalitas berislam ibarat orang yang berjuang di Jalan Allah dengan orang yang duduk-duduk. Sesungguhnya Allah membedakan antara orang yang berjuang di Jalan Allah dan yang duduk-duduk saja.
Orang yang berjuang di Jalan Allah derajatnya  lebih tinggi  daripada orang yang duduk/diam saja.
“Yaitu kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [Ash Shaff 11]
Dalam surat lain, Allah berfirman;
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” [An Nisaa' 95].*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Powered by Saiful | Converted by Saiful